Baru-baru ini, Instagram pribadi Ade Nuriadin @adenu memperkenalkan film “Tanigasi,” yang akan menjadi bagian dari acara “screening and discussion” di Jepang. Film ini menarik karena mampu memanfaatkan situasi bencana untuk mengajak kembali masyarakat untuk berkebun, terutama masyarakat petani di desa terdampak bencana. Saya yakin film ini dapat menginspirasi kita untuk tidak menyerah dalam menghadapi bencana dan bahwa berkebun dapat menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan. 

Karena penasaran, saya menghubungi Ade untuk menggali cerita di balik produksi film pendeknya ini.

Ade lantas membagikan kisah menarik tentang proses pembuatan “Tanigasi,” yang merupakan bagian dari Program Hidup Dengan Bencana, di mana empat film terpilih, termasuk “Tanigasi” dan “Timbul Tenggelam,” bersinergi dengan tujuan program yang diorganisir oleh mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Tanigasi diputar di Tokyo bersama dengan film pendek lain yang membahas bencana di Indonesia. Acara tersebut berlangsung pada hari Kamis, 7 Maret 2024, di Studio 04 NOOK, 〒136–0072 Tokyo, Koto City, Ojima, 4 Chome−1−1 四丁目団地1号棟106, dimulai pukul 07:00 malam (Waktu Jepang), 05:00 sore (Waktu Indonesia).

Saya menonton film ini melalui link tautan yang dikirimkan Ade.

Tanigasi berkisah tentang Rusdin (50) dan Wardia (45), pasangan suami istri penyintas gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah pada tahun 2018. Bencana itu tidak hanya memengaruhi mereka secara pribadi, tetapi juga desa mereka di Toaya. Menghadapi kenyataan di tempat penampungan, mereka memilih untuk tidak pasrah, menerima nasib. Tiga hari setelah bencana, mereka memutuskan kembali bekerja di kebun yang sempat mereka yang ditinggalkan.

Berdurasi 17 menit 46 detik, film ini dimulai dengan adegan Wardia yang tengah menanam biji dan memetik sayuran di kebunnya. Dilanjutkan dengan narasi Wardia mendengar berita tentang gempa besar yang terjadi sekitar pukul 6 sore.Meskipun menghadapi situasi sulit, Wardia tetap setia pada kebunnya, meski hasil panennya tidak bisa dijual seperti biasanya. Sebaliknya, dia membawanya ke lokasi pengungsian. Adegan kemudian beralih ke Rusdin, menceritakan pengalaman mereka di pengungsian Sumari setelah gempa.

Sambil memotong-motong nilam kering, Rusdin menjelaskan bagaimana mereka akhirnya memutuskan kembali berkebun, merencanakan dan mengimplementasikan strategi bertahan.

Film kemudian menyoroti proses berkebun mereka, mulai dari menanam terong, lombok, hingga mengatasi masalah hama dengan fokus pada penanaman nilam saja. Strategi ini membantu mereka menghindari gangguan dari hama dan hewan liar.

Adegan selanjutnya memperlihatkan kehidupan sehari-hari di kebun, termasuk perjalanan ke sumur untuk mengambil air dan aktivitas memasak. Wardia menjelaskan bahwa setelah gempa, suaminya berhenti menjadi tukang, memutuskan untuk fokus kembali pada berkebun sebagai mata pencaharian utama.

Film menyoroti kelanjutan perjuangan mereka, mulai dari menanam kelapa dan kopi hingga menghadapi tantangan seperti banjir dan erosi. Rusdin juga menceritakan bagaimana ia mengatasi masalah hama dengan fokus pada penanaman nilam.

Adegan berikutnya menggambarkan kehidupan sehari-hari di kebun, termasuk aktivitas memotong dan mengumpulkan nilam. Harapannya, mereka dapat memperkenalkan pertanian nilam kepada petani lain dan menghasilkan uang untuk membeli perlengkapan pertanian. Nilam dikenal luas di Asia karena menghasilkan minyak asiri atau minyak nilam yang dapat digunakan dalam parfum, kosmetik, dan kemenyan.

Film ditutup dengan adegan menarik dari proses produksi nilam hingga pemasarannya, dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka. Rusdin menyimpulkan bahwa hasil kebun ini akan menjadi dana pensiun mereka di masa tua.

Potensi Edukasi Bencana:

Menurut saya, film ini memiliki potensi besar sebagai alat edukasi bencana, namun perlu pengembangan lebih lanjut untuk mencapai efektivitas maksimal.

  • Komunikasi Lingkungan: Film ini menunjukkan bagaimana komunikasi lingkungan berperan dalam membangun ketahanan bencana. Rusdin dan Wardia menunjukkan pengetahuan dan hubungan erat dengan lingkungan, memanfaatkannya untuk bertani secara berkelanjutan dan membangun kembali kehidupan.
  • Ketangguhan Manusia: Film ini mengangkat kisah nyata tentang ketangguhan manusia di tengah krisis. “Tanigasi” mengajak penonton untuk merenung, belajar, dan bertindak dalam menghadapi bencana, serta memberikan inspirasi melalui seni sinematik.
  • Dedikasi dan Inspirasi: Dedikasi Ade pada bidang sinema dan upayanya dalam mitigasi bencana menjadi figur inspiratif yang membawa perubahan positif dalam masyarakat. Film ini menunjukkan bahwa ketekunan dan seni dapat menjadi kekuatan untuk menghadapi tantangan kehidupan.

Tantangan dan Pengembangan:

Beberapa usulan pertimbangan untuk perkembangan lebih lanjut

  • Durasi: Durasi film yang singkat (17 menit 46 detik) membatasi eksplorasi detail dan kompleksitas isu bencana. Perluasan durasi dapat memberikan edukasi yang lebih mendalam.
  • Sudut Pandang: Film ini fokus pada kisah inspiratif Rusdin dan Wardia. Penambahan sudut pandang ahli atau pihak terkait dapat memperkuat edukasi tentang strategi dan kebijakan mitigasi bencana.
  • Penyebaran dan Jangkauan: Perlu strategi yang jelas untuk mendistribusikan film ini kepada target audience, seperti komunitas, institusi pendidikan, dan pemangku kepentingan terkait bencana.

Dengan pengembangan lebih lanjut, film ini dapat menjadi sumber edukasi yang kuat dan memotivasi penonton untuk merenung tentang pentingnya komunikasi dan pengelolaan bencana di Indonesia.

Siapa Ade Nuriadin?

Saya mengenal Ade Nuriadin sebagai seorang pemuda yang mandiri dan memiliki jiwa kreatif. Semasa kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako, Ade sudah menunjukkan minatnya pada dunia film. Ia terlibat dalam beberapa proyek film pendek, termasuk film yang mengangkat kain tenun khas Donggala, Batik Bombana. Kegemarannya pada film pendek berlanjut hingga ia menyelesaikan tesisnya untuk program master di Universitas Gajah Mada (UGM).

Namun, perjalanan hidup Ade tidak berhenti di dunia film. Sebuah peristiwa besar mengubah arah hidupnya. Bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada tahun 2019 menggerakkan hatinya untuk kembali ke kampung halaman. Ia melihat langsung dampak devastating bencana tersebut, terutama pada mata pencaharian para petani. Sistem irigasi rusak dan lahan pertanian kekurangan air, sehingga banyak yang ditinggalkan.

Tergerak oleh situasi ini, Ade bersama teman-temannya yang sebelumnya bekerja di berbagai kota memutuskan untuk kembali ke desa mereka dan menjadi relawan. Mereka mendirikan Komunitas Tana Sanggamu dengan fokus pada pengembangan pertanian organik. Kesadaran untuk bercocok tanam seiring dengan alam dan menghindari penggunaan pupuk kimia menjadi landasan utama komunitas ini.

Sekarang, sambil tetap menekuni passion sebagai pembuat film, Ayah seorang putri ini sedang menikmati menjadi aktivis dan promotor pertanian organik. Ia dan komunitasnya berjuang untuk membangun kembali sistem pertanian yang berkelanjutan di desanya. Kegigihan dan semangatnya menjadi inspirasi bagi banyak orang, menunjukkan bahwa perubahan positif dapat dimulai dari tangan-tangan yang peduli dan mau bekerja keras. Dedikasi dan semangatnya dalam membangun kembali komunitasnya patut dicontoh dan ditiru.

Pembaca dapat mengakses aktivitas berkebun Ade dan kawan-kawan di sini.

Website Komunitas Tana Sanggamu: https://www.instagram.com/tanasanggamu/

Tinggalkan komentar

I’m Stephen

Welcome! I’m a cultural storyteller, a passionate traveler, and a journalism enthusiast. Through this blog, I’ll share adventure tales from various destinations, explore cultural richness from traditions to cool festivals, analyze current news and issues in the world of journalism, and delve into other favorites like music, film, books, and the latest trends. Join me on this captivating journey!

Let’s connect

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai